LIWA, WARTAALAM.COM – Belum lama ini beredar video petani membuang berton-ton tomat ke dalam jurang di Lampung Barat. Video tersebut menjadi viral setelah beredar di aplikasi pesan WhatsApp.
Dalam video itu, mereka meminta pemerintah segera menyikapi anjloknya harga tomat. Hal tersebut agar petani tidak merugi.
Video tersebut dibuat di Pekon Sedampah, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat beberapa hari lalu oleh seorang warga Dusun Sampot, Desa Padang Cahya, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat bernama Fredi.
Siti Kotimah yang juga bertani tomat di Desa Padang Cahya mengaku juga ikut dalam aksi buang tomat tersebut. Siti dan Fredi membuang tomat-tomat tersebut karena kecewa harganya yang anjlok, sementara persediaan sangat melimpah.
“Kita buang karena tidak laku.”
“Biasanya ngirim tomat ke Bandar Lampung, Palembang, dan Jakarta,” jelas Siti, Rabu (4/9/2019).
Siti mengatakan, setiap peti berisi tomat hanya bernilai Rp 10 ribu.
“Satu peti 50 kilogram.”
“Dengan harga cuma Rp 500 per kilogramnya, artinya dari satu peti hanya mendapat Rp 25 ribu.”
“Sedangkan, harga petinya aja Rp 10 ribu dan biaya ojek Rp 10 ribu,” ungkapnya.
Itu belum termasuk ongkos petik Rp 50 ribu per orang per hari.
“Dari 500 peti, baru dapet Rp 5 juta. Sedangkan modal Rp 35 juta.”
“Paling dari 1 kilo kita dapat Rp 100,” beber Siti.
Menurut Siti, tidak sedikit petani tomat yang terlilit utang. Mereka terpaksa meminjam modal dengan nominal minimal Rp 15 juta.
“Karena modal untuk satu gulung atau tiga rantai (1 rantai setara 400 meter persegi) hanya menghasilkan 100 peti.”
“Saya modalnya tiga gulung atau sembilan rantai, hasilnya sampai 500 peti atau 25 ton dengan modal Rp 35 juta,” kata Siti.
Siti menuturkan, harga tomat tertinggi pernah mencapai Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kg.
Tapi, itu sekitar tiga bulan lalu.
Selama dua bulan terakhir, kata dia, harga tomat terus mengalami penurunan hingga hanya Rp 500 per kg.
“Kami petani tomat berharap, walaupun murah tapi jangan terlalu.”
“Jadi walaupun rugi, tidak terlalu banyak. Paling tidak modal kita balik.
“Ya paling murah minimal Rp 1.500,” tuturnya.
“Kalo agen tidak akan susah. Karena mereka dapat menyesuaikan harga.”
“Jadi naik atau turun, mereka nggak masalah. Tapi kalo petani pasti susah,” ujarnya.
Kondisi itu juga membuat seorang petani terlilit utang hingga Rp 70 juta. Mirisnya, ia menggadaikan tanahnya untuk modal menanam tomat.
Harga tomat yang anjlok rupiah menjadi perhatian pihak-pihak terkait, salah satunya Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (DTPH) Lampung Barat.
Yedi Ruhyadi Kepala Dinas TPH Lambar mengatakan akan mencari mitra kerja pengolahan tomat, Jumat (6/9/2019).
“Dari hasil survey saat rapat di provinsi, tomat sekarang dalam masa panen dan produksi meningkat. Sementara pemasaran hanya ke Bandar Lampung dan Palembang. Sehingga harga mengalami penurunan,” katanya.
Untuk mengatasi hal itu, DTPH Lambar berencana mencari mitra kerja pengolahan tomat.
“Jadi kita punya rencana untuk tahun 2020 mendatang, akan mencari mitra dalam pengolahan tomat. Pengolahan tomat menjadi saos misalnya, ataupun yang lainnya,” kata Yedi.
Yedi menuturkan, setiap perusahaan punya target dan syarat-syarat tertentu, apakah itu harus secara berkelanjutan atau syarat lainnya, sedangkan fluktuasi produksi dilapangan terkadang tidak stabil.
“Untuk itu, rencana ini perlu persiapan yang benar-benar matang, baik persiapan dari jumlah produksi ataupun kualitasnya,” katanya. (*)