BANDAR LAMPUNG – WARTAALAM.COM – Tanoh lado atau tanah lada menjadi sebutan yang awam dikenal masyarakat luas untuk menggambarkan Provinsi Lampung sejak dulu. Namun, eksistensi rempah yang kadang disanjung sebagai mutiara hitam kini mulai meredup dengan beragam permasalahan budi daya komoditas tersebut di Lampung.
Pola tanam yang terganggu akibat hama dan bibit yang kurang berkualitas, di antara yang mengakibatkan para petani lada sempat enggan untuk membudidayakan komoditas bernilai ekspor itu.
Dengan luasan lahan lada sekira 46.847 hektare, Lampung telah memproyeksikan produksi ladanya hingga akhir tahun 2022 mencapai 15.819 ton.
Sementara itu, data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Lampung mencatat, pada 2021 ekspor lada hitam dan putih asal Lampung mencapai 11.848 ton atau senilai 41.756.825 dolar AS atau Rp584.595.550.000.
Potensi pasar ekspor dan domestik yang besar atas komoditas itu telah menggugah pemerintah daerah setempat membangun kembali fondasi kepercayaan petani dan konsumen akan kualitas serta produktivitas lada hitam Lampung. Produktivitas lada di Lampung kini sekira 0,7 kuintal per hektare.
Langkah intensifikasi tanaman lada di daerah sentra menjadi pilihan awal yang mengawali perbaikan produktivitas, kualitas, hingga memperbanyak bulir hitam lada di pasaran, baik domestik maupun di pasar ekspor. Intensifikasi tanaman lada di berbagai sentra lada menjadi komitmen pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi rempah lokal.
Langkah perbaikan melalui intensifikasi tanaman lada tersebut, menurut Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim, dilakukan dengan melaksanakan revitalisasi tanaman lada yang rusak di sejumlah sentra lada, di antaranys di Sukadana, Lampung Timur, untuk mendongkrak produktivitas secara berkesinambungan.
Selain untuk meningkatkan produksi, revitalisasi tanaman lada itu dilakukan menghasilkan kembali biji lada berkualitas yang memiliki spesifikasi menarik bagi pasar internasional
Ekspor lada hitam masih ada hingga saat ini, dan nanti akan diperbanyak dengan cara melakukan revitalisasi tanaman dahulu. Jadi di desa penghasil lada akan fokus menghasilkan buah berkualitas dan bernilai ekspor, serta tidak lupa untuk menghasilkan bibit lada yang berkualitas, ujar Wakil Gubernur wanita pertama di Lampung itu.
Dalam menghasilkan lada hitam rempah yang pernah jadi rebutan pedagang pada zaman kolonial itu, perlu dibarengi dengan pemahaman tentang teknologi pembibitan, pengelolaan air, metode pemupukan, pengendalian hama dan identifikasi penyakit pada tanaman.
Kepala BPTP Lampung, Jekvy Hendra, mengatakan dalam pengembangan lada, banyak hal yang kurang dimengerti petani ataupun pihak terkait, tentang penyediaan bibit lada yang berkualitas.
Saat ini banyak bibit yang diterima petani, bukanlah bibit lada berkualitas, sebab berasal dari sulur gantung dan sulur cacing. Padahal, dalam mendukung perbaikan tanaman milik petani, benih yang digunakan sebaiknya sulur panjat.
Teknologi tiang panjat pun perlu pula diperhatikan dengan seksama, bersamaan pengaturan sistem tata kelola air yang baik untuk menghadapi cuaca yang tidak menentu.
Selain itu, teknologi pengendalian organisme pengganggu tanaman (OTP) atau penyakit harus diidentifikasi secara teliti agar tidak ada generalisasi penyakit terhadap tanaman lada dengan diagnosis secara umum sebagai penyakit busuk pangkal batang. Namun, adapula penyebab lainnya seperti serangan penggerek pada tanaman. Sebab, kedua penyebab kerusakan tanaman lada itu memiliki perlakuan penanganan yang berbeda.
Desa Devisa dan Produk Turunan
Berbagai pihak saling bergandengan tangan untuk mengembalikan kejayaan lada Lampung di antaranya terlihat dari Kementerian Perindustrian yang telah melakukan pengembangan “Desa Devisa Lada” di beberapa lokasi di Kabupaten Lampung Timur sebagai lokasi percontohan.
Pembentukan Desa Devisa Lada itu bertujuan mengakomodasi kelompok atau desa yang mempunyai komoditas lada berorientasi ekspor agar mampu memiliki pasar lebih luas.
Melihat banyaknya pihak yang fokus kepada pengembangan lada hitam Lampung, terkadang membuat masyarakat penasaran akan potensi lain dari lada hitam Lampung. Lada hitam itu ternyata tidak hanya menjadi komoditas sebagai rempah pelengkap masakan, melainkan dapat juga diolah menjadi berbagai produk turunan yang cukup unik.
Pengembangan bulir lada Lampung menjadi produk turunan cukup meningkatkan nilai jual. Upaya itu dilakukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung bekerja sama dengan kelompok wanita tani ataupun kelompok tani binaan di wilayahnya.
Produk turunan yang cukup unik dan menambah ragam produk berpotensi itu berupa sirup lada, dan asinan lada. Memang produk turunan itu terdengar asing di telinga, bahkan agak sulit untuk mendeskripsikan rasa kedua produk tersebut bila belum mencicipinya secara langsung.
Ratna Wylis Arif, peneliti madya BPTP Lampung menceritakan, pengelolaan biji lada menjadi produk sirup dan asinan itu dimulai dengan memanfaatkan biji lada muda yang baru berusia empat bulan, masih masak susu, dan tidak terlampau pedas serta tidak mengandung tepung. Kemudian bulir lada itu dipisahkan dari tangkai, dibersihkan, direbus dengan air gula, kemudian diblender dan dilanjutkan dengan proses penyaringan.
“Selama ini masyarakat hanya tahu kalau lada hanya diolah menjadi bubuk lada hitam dan putih. Belum banyak yang tahu kalau lada bisa diolah menjadi berbagai macam olahan antara lain sirup dan acar lada yang tentunya bila dikemas secara baik dan dijual secara komersial akan menambah daya tarik lada Lampung,” ujarnya.
Ketahanan produk tersebut dalam suhu kamar mencapai dua pekan, sedangkan dalam lemari pendingin hingga enam bulan.
Lampung kini terus berupaya membangkitkan kembali kejayaan lada hitam. Provinsi dengan motto “Sai Bumi Ruwa Jurai” ini ingin menggaungkan kembali daerahnya sebagai Tanoh Lado, tanah lada, sentra produksi lada. (***)