Redupnya Kemilau Minyak Goreng di Ladang Produsen CPO

0
96

BANDAR LAMPUNG – WARTAALAM.COM – Minyak goreng bukanlah komoditas biasa yang hanya berperan sebagai komoditi pendamping bagi konsumsi masyarakat. Namun minyak goreng menjadi salah satu komoditas utama yang melekat serta selalu tersedia di setiap dapur warga.

Popularitas minyak goreng tak hanya akibat konsumsi masyarakat yang cukup tinggi, namun juga dipengaruhi melimpahnya pasokan bahan mentah, yang didukung luasnya lahan sawit membentang terjajar rapi di perkebunan milik warga atau perusahaan.

Tersebarnya pabrik produsen minyak goreng di seantero Indonesia menjadikan minyak goreng sebagai salah satu komoditas penting bagi perekonomian negara.

Bahkan, pesona minyak goreng tak akan pernah pudar, karena minyak kelapa sawit atau CPO sebagai bahan utama komoditas primadona masyarakat itu menjadi salah satu penghasil devisa terbesar pada sektor industri pengolahan.

Kementerian Perindustrian mencatat pada semester I 2021 nilai ekspor komoditas itu mencapai 12,32 dolar Amerika Serikat naik dibanding semester yang sama di tahun sebelumnya.

Meski Covid-19 hadir dalam beberapa tahun terakhir dan mengakibatkan fluktuasi harga CPO di tingkat dunia, akan tetapi ekspor CPO Indonesia ke sedikitnya 10 negara importir tetap berjalan.

Dengan nilai kontribusi ekspor dari CPO pada semester I 2021 yang naik sekira 60,1 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya dan menunjukkan kokohnya industri minyak sawit Indonesia.

Akan tetapi, industri itu kini tengah diuji dengan sejumlah permasalahan yang tak kunjung usai sejak akhir tahun lalu hingga saat ini.

Kemilau percikan minyak goreng berwarna emas di tengah cahaya matahari yang memenuhi ember pedagang, ataupun beningnya kemasan mewah yang terjajar rapi di rak minimarket, kini telah mulai memudar di sejumlah daerah.

Bahkan, Provinsi Lampung penghasil kelapa sawit nomor 10 nasional, dengan jumlah produksi sawit sekira 395.967 ton pada tahun 2021 sebagai daerah produsen minyak goreng, tak luput dari redupnya kemilau minyak goreng.

Rak-rak retail kosong dengan menyisakan label harga beragam merek minyak goreng kemasan premium, pemberitahuan yang tertulis di selembar sobekan kardus memberitahukan bahwa stok kosong di grosir, menjadi pemandangan awam dalam beberapa bulan di awal tahun 2022.

Bukan tanpa sebab, awal “hilangnya” minyak goreng karena kenaikan bahan baku berupa minyak kelapa sawit atau yang dikenal sebagai CPO, sehingga produsen melakukan langkah penyesuaian harga produk olahan sawit itu di pasar.

Beberapa pekan di akhir tahun 2021 hingga di awal tahun 2022 perlahan tapi pasti harga minyak goreng di Lampung sebagai daerah penghasil minyak goreng ikut serta melambung cukup tinggi, dari harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditentukan. Satu liter sempat dijajakan oleh pedagang kepada konsumen hingga Rp27.000 per liter bahkan ada yang mencapai Rp30.000 per liter.

Kenaikan itu telah sedikit mengusik pemerintah daerah yang segera melakukan operasi pasar dengan menurunkan 5 ton minyak goreng bekerja sama dengan pemerintah pusat di penghujung tahun 2021 dengan harapan menstabilkan harga dalam waktu yang relatif cepat dan meredam kerisauan masyarakat.

Pemerintah menempuh kebijakan minyak goreng satu harga menerbitkan Peraturan Menteri (Permendag) Nomor 6 tahun 2022 yang mengatur sejumlah hal seperti harga tertinggi bagi CPO dan harga eceran tertinggi (HET) bagi produk olahan minyak sawit berupa minyak curah dengan HET Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Kebijakan satu harga tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan harga di pasar.

Pemerintah setempat juga sudah meminta para pedagang serta distributor untuk menyamaratakan harga dalam waktu sepekan, meski sangatlah sukar untuk menstabilkan harga di pasaran namun penurunan harga sempat terjadi, meski tak berangsur lama.

Memasuki akhir Februari 2022, permasalahan tersebut beralih bukan mempermasalahkan harga, melainkan pasokan yang makin menghilang dari pasaran.

Seorang pedagang sembako di Pasar Tradisional Pasir Gintung Kota Bandar Lampung, Titin mengeluhkan kosongnya pasokan minyak goreng kemasan bagi pemenuhan konsumsi masyarakat.

Minyak goreng sudah dua pekan ini masih sulit mencari pasokannya, di distributor pun belum ada yang mendapatkan pasokan selancar dulu. Kalau dapat paling hanya satu kardus itu pun sangat jarang stok disini terisi, ujarnya.

Dengan raut kecewa dirinya menceritakan banyak warga, dan pedagang gorengan yang menjadi langganannya kesulitan mendapatkan komoditas itu, hingga memaksa mereka mengubah pola konsumsi hingga harus gulung tikar akibat produksi yang terhambat.

“Banyak pedagang gorengan, warung makan, dan warga yang jadi langganan saya kebingungan mencari stok minyak goreng, karena kosong semua kalau ada harganya mahal sekira Rp25 ribu sampai Rp30 ribu per liter. Bahkan ada pedagang yang memilih tidak berjualan,” katanya.

Kekosongan pasokan minyak goreng di tengah masyarakat ataupun retail.

Belum bisa diatasi pemerintah daerah, hingga perusahaan milik negara pun belum dapat membantu menghadirkan stok minyak goreng murah bagi warga.

Antrean pembeli yang mengular di manapun stok minyak goreng tersedia di Kota Bandar Lampung menjadi suatu gambaran lumrah serta anomali tersendiri di tengah kayanya Provinsi Lampung akan komoditi sawit dan banyaknya perusahaan produsen minyak goreng.

Melihat makin gusarnya masyarakat atas langkahnya minyak goreng telah memacu respon perusahaan minyak goreng di Lampung, di antaranya Direktur PT Sungai Budi Group (CV Bumi Waras) Benny Susanto.

Pihaknya berusaha untuk terus berproduksi serta menyediakan pasokan minyak goreng kemasan bagi konsumsi masyarakat.

“Kami akan terus produksi dan memasok untuk konsumsi konsumen di Lampung, kalau ada yang habis siap ditambah,” ujar lelaki paruh baya.

Melihat persoalan pelik itu Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, meski belum mampu menstabilkan harga namun kembali berusaha dengan memanggil perusahaan pengelola minyak sawit, pengelola minyak goreng, hingga pedagang untuk memecahkan permasalahan bersama.

Pada pekan ini pemerintah setempat telah meminta perusahaan produsen minyak yang ada di Lampung untuk menyisihkan 20 persen volume ekspor minyak sawit atau CPO yang di hasilkan oleh masing-masing perusahaan untuk memenuhi kebutuhan lokal.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, Elvira Umihanni mengatakan dengan ketimpangan antara kebutuhan akan minyak goreng dan produksi di daerahnya sekira 600.000 liter per hari untuk kebutuhan minyak goreng di Lampung, dan produksi mencapai 100.000 liter per hari.

Alokasi 20 persen dari total volume ekspor dari perusahaan di Lampung, setidaknya dapat membantu menjaga stabilitas harga dan pasokan.

Bagi perusahaan yang melakukan ekspor dan berlokasi di Lampung terutama yang memiliki kebun sawit dan pekerjanya asal Lampung untuk menyalurkan 20 persen minyak untuk kebutuhan daerah.

Peliknya mengembalikan kemilau minyak goreng di tengah masyarakat terutama di daerah produsen, kini pun telah menjadi suatu pendongkrak kinerja pemerintah dan pihak terkait untuk selalu konsisten menjaga stabilitas ekonomi serta menjaga kesejahteraan rakyatnya.

Terutama di tengah pemulihan ekonomi mulai terjadi di masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. (tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini