Udah kuberitahu waktu itu, Nifah! Jangan pergi! Tapi
kamu tetap memaksa. Nifah yang manis, dengan
lesung pipit menyembul dari balik pipi itu, keras dalam
memiliki sikap.
“Teh, jangan halangi Nifah pergi!” katamu saat
mengepak pakaian-pakaian lusuh itu.
“Teteh, tidak bermaksud menghalangimu, Dek.
Teteh takut bahaya mengincarmu di negeri orang,”
tegasku dengan tangisan tertahan.
“Minta doa saja, Teh. Semoga lancar dan
selamat.”
“Itu pasti adikku. Doa selalu mengiringi hidupmu.
Tapi, bisakah kau batalkan saja, keinginanmu ini. Kita
kelola rumah makan peninggalan Ayah bersama Ibu.
Kamu menikah dengan Afrizal, pemuda baik yang
mengejarmu terus itu,” berondongan permintaan
kulayangkan padanya, sesaat koper itu mulai beranjak
meninggalkan pintu rumah kami.
“Sudahlah, Teh. Saya bosan hidup sederhana.
Saya ingin kaya seperti Teh Rohayah tetangga kita.
Seorang TKW yang berhasil mengadu nasib di Hongkong.
Afrizal tak akan mampu merubah nasib, denganpenghasilan pas-pasan.” ucapan adikku terasa menohok
ulu hati, walaupun ciuman di kedua pipiku mendarat.
Air mataku, luruh tak tertahankan, Nifah tak dapat kucegah kepergiannya. Adik paling bungsu dan
masih belasan tahun itu pergi begitu saja tepat di depan
mataku.
Kini, sudah bertahun-tahun lamanya dia pergi,
tanpa sepucuk surat pun kau kirim. Keinginan dia
menjadi pekerja di luar negeri, sudah tercapai. Aku tak
bisa berbuat apapun, mengurus ibu yang renta dan
mengatur usaha keluarga yang mulai tertatih.
Tiba satu waktu, kau datang. Dalam rupa pucat
tak bernyawa. Pandanganku gelap. Tak sadar, di dunia
mana aku kini Nifah. Kamu tersenyum dalam balutan
gaun putih susu. Melambai tanganmu padaku. Sungguh,
aku sangat merindukanmu, adikku. Kamu memang keras
kepala, tapi tetaplah kamu saudari kandung yang sangat
kucintai.
“Teteh, Nifah sudah tenang di sini. Teteh pulang
saja, salam buat ibu, jagain dia untukku,” katamu dengan
wajah cemerlang itu pergi menaiki kereta kencana.
Kukejar dirimu, namun tak sampai. Kupanggil namamu,
hingga ke ujung langit, kamu tak mendengar apalagi
menoleh. Nyeri … teramat nyeri, melepas saudariku satu-
satunya. Saat tubuh ini limbung, terdengar suara lirih ibu
memanggil, “Nak, bangunlah. Jangan tinggalkan ibu sendiri.Mata ini terbuka, kulihat ibu beserta jasad
dinginmu di sampingku. Aku tersadar, kamu tak akan
pernah kembali.
Menguatkan diri demi ibu saja, aku mau
menempuh jalan hidup. Pesanmu waktu itu, agar menjaga
ibu, pasti kukabulkan.
Air mandi yang kukucurkan pada tubuhmu, tak bisa kulanjutkan. Jiwa ini tergoncang lagi, di sana ada
jahitan yang banyak jumlahnya.
“Dek, apa yang terjadi, di mana ginjal dan
jantungmu?” pikiran luguku, tak berkutik menjawab semua tanya.
PENULIS : Bunda Nina