Politik Dinasti Syarat Akan Korupsi

0
495
Ilustrasi

Bandar Lampung, WARTAALAM.COM — Politik Dinasti di Tanah Air semakin subur. Salah satunya sedang terjadi di Lampung.  Nunik sapaan Chusnunia yang saat ini juga menjabat Ketua DPW PKB Lampung, telah membawa adik kandungnya, Jihan Nurlela duduk di kursi DPD RI dan telah dilantik awal Oktober lalu.

Teranyar Suami Nunik, Ery Ayudiansyah masuk dalam daftar penjaringan DPC PKB Lampung Timur (Lamtim) untuk mengikuti kontestasi Pilkada Kabupaten Setempat.

Hal itu diungkapkan Ketua Tim Desk Pilkada DPC PKB Muslim Rois. Menurutnya, 11 nama telah mendaftar sebagai balon bupati dan 7 sebagai balon wakil bupati. Dari 11 balon bupati tersebut salah satunya Ery Ayudiansyah yang merupakan suami dari Wakil Gubernur Lampung Chusnunia. “Ery mengambil berkas diwakili LO (liassion officer),” kata M. Rois.

Namun, langkah Nunik membangun politik dinasti ketika menjabat sebagai Wagub Lampung sangat disesalkan kalangan akademisi. Salah satunya seperti yang diungkapkan Akademisi Universitas Lampung (Unila) Budi Kurniawan.

Menurutnya, membangun politik dinasti ketika masih menjabat sangat beresiko. Sebab, mengajak kerabat ataupun keluarga dalam politik itu sangat tidak baik dalam berdemokrasi.

“Dinasti itu hanya didasari kekeluargaan saja. Kalau semua berpolitik dinasti karena aji mumpung, sedang berkuasa, maka orang-orang yang berpotensial secara politik dan memiliki kemampuan apalagi tidak punya darah biru atau modal akhirnya tidak muncul kepermukaan, karena dikalahkan uang dan kekerabatan,” ujar Budi, Sabtu (5/10).

Menurutnya, jika politik dinasti ini dibangun maka tidak heran bila nantinya akan mendapatkan pemimpin yang tidak kompeten dan rakyat yang akan dikorbankan. Kemudian politik dinasti juga menimbulkan kecenderungan melakukan korupsi. Seperti kasus korupsi Keluarga Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut di Banten

“Politik dinasti juga identik korupsi, misalnya contoh kasus di Banten yang menimbulkan korupsi di keluarga Atut. Sama seperti di Madura yang tertangkap KPK. Artinya tidak baik dan sistem politiknya tidak terbuka,” kata dia.

Budi juga menyarankan politik dinasti untuk tidak dilakukan saat politisi yang utama (terkuat) menjabat di Pemerintahan.

“Politik dinasti tidak masalah dilakukan, tapi lebih baik tidak dilakukan saat yang utama sedang menjabat, salah satunya Nunik yang sedang menjabat saat ini. Maka sangat tidak etis secara etika mengangkat suaminya menjadi calon Bupati dan adiknya di DPD seperti itu,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Akademisi Unila, Robi Cahyadi. Ia menyebut, di Lampung memang dinasti politik sudah dibangun sejak lama.

“(politik dinasti) memang pada tingkatan kepala daerah secara hukum sah dan diperbolehkan membangun dinasti politik. Namun secara realita politik, dinasti politik akan menghasilkan lebih banyak peluang penyalahgunaan kekuasaan, karena tidak ada fungsi kontrol yang baik, serta check and balancing power,” ujar Robi.

Selain itu, kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme juga sangat terbuka. Sudah banyak contoh kasus politik dinasti yang akhirnya masuk dalam jurang korupsi di Indonesia.

“Contohnya yang paling nyata Keluarga Soeharto dan Keluarga Gubernur Banten, Ratu Atut dan dinastinya. Maka itu kemungkinan korupsi besar terjadi,” tambah Robi.

Sementara politik dinasti sendiri seperti diketahui merupakan kekuasaan politik yang melibatkan tali kekeluargaan baik dari hubungan darah, garis keturunan maupun dari ikatan perkawinan.

“Jadi sejak keluarnya putusan MK yang memperbolehkan politik dinasti ikut dalam pilkada, maka di Indonesia marak terjadi,” tandasnya.

Putusan MK tanggal 8 Juli 2015 tersebut dikeluarkan dalam rapat yg dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat resmi membatalkan pasal 7r Undang-undang Nonor 8/2015  tentang Pilkada. Di mana didalam pasal 7r menyebutkan syarat Kada tidak  memiliki konflik kepentingan dengan petahana. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini