Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
Penulis Lepas Yogyakarta
Gemerlap dunia yang diistilahkan dengan “Wahn” diambil dari sebuah Hadits Nabi. “Wahn” ditengarai menjadi satu di antara sebab penurunan kualitas ummat.
Muslim dalam konteks bersama atau ummat dikabarkan rasul terkait ancaman di depan mata yang justru bukan keburukan dunia namun sebaliknya.
Beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“… Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, melainkan aku khawatir kalau kalian diberi harta yang banyak sebagaimana orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian saling menjatuhkan untuk meraih harta itu sebagaimana orang-orang sebelum kalian, lalu akhirnya harta tersebut mencelakakan kalian sebagaimana mereka.” (H. R. Muslim 2080).
Sebenarnya, masih banyak hadits lain yang menunjukkan kezuhudan, kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang fakir, dan orang-orang huhajir yang fakir mendahului orang-orang yang kaya ke surga. Hal ini juga tercermin dalam kepribadian rasul dan kehidupan beliau dalam berkeluarga.
Baiklah! Pembahasan selanjutnya langsung kepada poin-poin yang dikategorikan penulis sebagai indikasi “wahn” dalam pengertian di atas khususnya dengan kondisi kekinian. Yaitu:
1. Da’i mendakwahkan harta, kepopuleran dan gemerlap dunia lainnya (seperti anak-anak dan wanita/istri) sebagai jalan dakwah meraih surga dengannya.
Meski terdapat celaan terhadap cinta dunia, atau klasifikasi rendah terhadapnya dibanding akhirat sebagaimana tercantum dalam berbagai ayat al-Quran, juga ancaman kebinasaan bagi sikap bermegah-megah yang tentunya dekat kondisi kaya raya bahkan terdapat dalam al-Quran yang seolah memperbandingkan antara ketaqwaan dengan sikap cinta pada syahwat terhadap wanita, anak-anak, kuda peliharaan, dan emas, perak, hewan ternak, dan tumbuh-tumbuhan sebagai perhiasan dunia, namun kabar baik yaitu kondisi lebih baik dari itu semua di sisi Allah, yang tidak lain adalah taqwa.
2. Jama’ah yang menunggu gerbang masjid dibuka.
Masjid yang megah lagi dilengkapi berbagai fasilitas akan menciptakan kondisi nyaman di dalamnya meski tidak menjamin kekhusyu’an juga.
Namun ini tidak patut juga dianggap suatu masalah, yang masalah justru makna masjid sebagai kepunyaan seluruh ummat muslim sepatutnya senantiasa dijaga. Artinya setiap ummat Islam dapat dikatakan sebagai pemilik, bahkan pada kondisi tertentu adalah pengurus yang berarti bertanggungjawab dengannya.
Maka, demikian kiranya menjadi himbauan bagi seluruh ummat Islam tidak hanya terhadap pengurus struktural masjid atau pengurus harian.
3. Pemurnian, revital, gerakan salaf as-saleh yang sensasional. Bid’ah semakin meraja lela dengan mengakarnya bid’ah yang telah ada, dan melahirkan bid’ah-bid’ah baru serta berbagai penyimpangan.
Sejatinya kembali kepada agama Allah adalah sikap terbaik dan merupakan pilihan terbaik untuk menjalani hidup. Sebab tidak ada penyimpangan terhadap agama Allah, jika ada maka itu sudah bukan lagi agama Allah. Bahkan langkah kembali kepada agama Allah adalah solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi ummat Islam saat ini.
Namun persoalannya, terhadap berbagai penafsiran dan ini bersifat fundamental, terdapat banyak perbedaan.
Tanpa mengenyampingkan peranan agama sebagai pedoman hidup, penting untuk menimbang urgensi perbedaan pandangan serta hikmah di dalamnya meski sekadar pada ranah istilah fiqih yaitu “furu’iyyah” atau cabang.
Semisal kepribadian dan kehidupan rasul, sebagai suri teladan paripurna, beliau sering dijadikan teladan bagi sebagian kalangan, seperti kaum sufi dengan kesederhanaannya, Shallahu ‘alaihi wa sallam. Namun pada sisi lain, terdapat pandangan beliau, atau Islam secara umum tidak melarang seseorang untuk menjadi kaya (bukan bermegah-megah atau “at-takatsur”).
Pada kondisi tertentu perbedaan pandangan ini sah-sah saja, atau tidak masalah dalam kehidupan beragama, namun pada sisi lain tidak jarang terdapat usaha mempertentangkannya.
Terdapat dugaan kepentingan keduniawian yang melatarbelakanginya, semisal tudingan “cari panggung” dan lain sebagainya. Hal ini patut disayangkan.
4. Kesalihan sebatas simbolik, bagi-bagi gambar/simbol semangka, pengambilan peran agama dominasi keinginan, formalitas, serta condong kepada syahwat.
Hal yang perlu diantipati dari poin ini adalah adanha dugaan atau (“su’udzon) sesama Muslim dan perbuatan ini terlarang dalam agama.
Di sini penulis hendak menyampaikan pandangan, setiap muslim untuk dapat diberikan kesempatan dalam mengambil peran dalam agama, termasuk perihal beribadah.
Selain pertimbangan kemampuan (kapasitas dan kapabilitas), sikap mendahulukan atau ta’zhiim terhadap muslim lain juga perlu untuk dipandang dan dikedepankan.
5. Desakan kebutuhan fisiologis dan eksistensi dan kurangnya peneladanan terhadap para nabi dan rasul “ulul ‘azmi” sehingga kurangnya semangat juang (“jihad”).
Jika kebutuhan fisiologis sejenis rezeki mendapat jaminan dari Allah, artinya setiap orang tidak perlu ragu terhadap janji dan ketetapan Allah, maka eksistensi adalah ruang mungkin penting untuk diusahakan.
Kebutuhan eksistensial berkaitan erat dengan poin sebelumnya yaitu terkait peran dalam beragama. Meski segala hal akan dikembalikan kepada Allah, dan setiap orang harus ridlo dengan hal itu sebagai ketetapan, tetapi sikap untuk tidak membatasi kesempatan terhadap seseorang misalnya, secara berlebihan dan tidak mengedepankan akhlak dan “atifiyyah” (perasaan) sebagai sesama saudara perlu untuk diindahkan.
6. Kecenderungan debat dan jauh dari ilmu dan kebijaksanaan.
Debat dalam Islam diatur dan terdapat cara juga ketentuannya. Semisal terhadap ahli kitab, diseru untuk berdebat dengan cara yang makruf terkecuali pada kondisi-kondisi tertentu.
bukan tanpa risiko, debat tanpa ilmu dan kebijaksanaan dan cenderung kepada hal-hal atau materi dan cara-cara negatif akan menghasilkan keburukan atau negatif juga.
Selain itu sikap tersebut juga dapat menarik rahmat Allah, hal ini disebutkan dalam sejarah semisal terjadi suatu perdebatan tentang Lailatul Qadr yang menjadikan peristiwa tersebut kini menjadi misteri khususnya penetapan malam persisnya. Maka sikap ini perlu dihindari.
7. Merebaknya ancaman kemunafikan tidak hanya sebatas perkataan dan perbuatan bahkan dapat mencapai “i’tiqadi” (akidah).
Hal ini menjadi nyata tatkala perkataan yang diucapkan tidak selaras bahkan menyelisihi perbuatan atau kenyataan. Namun perlu juga diingat, pada ranah ini perlu untuk ditimbang pada sisi maqaam atau tingkatan keilmuwan, salah-salah bisa menjustifikasi tanpa ilmu pula, dan hal ini dapat tercela bagi siapa saja.
8. Terjungkalnya nurani/fitrah oleh pengaruh paradigma keduniaan yang mengotori jiwa.
Poin ini dipandang penulis penting lantaran tidak hanya lantaran banyaknya paham atau paradigma yang berkembang dan mempengaruhi manusia, namun juga terdapat banyak persoalan di hadapan kita atau kenyataan sehari-hari yang semakin hari dapat menggeser makna nilai-nilai luhur nan agung yang berkesesuaian dengan fitrah manusia.
Seperti berbagai aksi yang mendunia sejak beberapa dekade ini, yaitu serangan menggila Israel terhadap bayi dan perlakuan semena-mena terhadap bangsa Palestina.
9. Dominasi pemahaman doktrinal khas modernitas, seperti materialisme, individualisme, dan lain sebagainya.
Pemahaman doktrinal sejatinya diakui peranannya dalam kehidupan manusia, baik dari segi menyusun ide, mengambil keputusan, juga bersikap.
Namun pemahaman konseptual apa pun kiranya senantiasa berkesesuaian dengan kebenaran yang diharapkan dapat menuntunnya. Selain itu, adanya kebenaran dapat memposisikan peran doktrin sebagai konsep pemikiran khas manusia.
Kemudian, peranan selanjutnya dari tuntunan berupa kebenaran dapat menjadi acuan, semisal suatu ketika terdapat masalah atau sekadar persoalan yang butuh untuk dipecahkan melalui tuntunan yang diakui keabsahannya.
Demikian artikel ini disusun, tidak bermaksud untuk menggurui atau menafikan peran para guru seperti alim, da’i yang telah menyampaikan ilmu dan agama.
Namun sebagai bagian dari buah pikir dan untuk dijadikan hikmah, sekiranya bermanfaat. Wallahu a’lam.