Oleh: Intan Widora
“Bu, bekas bungkus minyak goreng tadi mana?” Tanya Budi.
“Itu, di tempat sampah. Untuk apa tiap hari ngumpulin sampah? Heran deh ibu.”
“Mau buat eco brick. Tugas P5.”
“Perasaan gak selesai-selesai buat eco brick itu? Kaya gak ada pelajaran lainnya.”
“Iya, banyak bu. Mau buat kursi dan meja dari eco brick. Tapi gara-gara itu tong sampah depan kelas bersih terus lo bu. Lagian kami senang bisa daur ulang sampah jadi barang yang berguna.”
“Iya kah?”
“Iya, kalo istirahat kami keliling, cari sampah.” Gema tawa Budi membahana di dalam rumah mungil tersebut.
Apakah percakapan seperti ini pernah dialami murid dengan orang tuanya? Jawabannya adalah ‘iya’. Ada sebagian yang menanyakan kebermafaatan program dari Kurikulum Merdeka ini, meskipun tak sedikit juga yang justru turut andil dan mendukung setiap projek yang dikerjakan oleh anak-anaknya.
Mari menilik hakikat dari tujuan pendidikan itu sendiri. Jika ingin dunia yang lebih baik, maka patrilah generasi muda sesuai zaman dan alamnya. Dengan begitu, maka mimpi Ki Hadjar Dewantara tentang merdekanya anak dalam belajar niscaya akan menjadi nyata.
Kita sekarang ada pada masa ‘penyembuhan’ dari sakit. Sakit yang membuat semua lini kehidupan menjadi tidak stabil karena sebuah pandemi Covid 19 yang melanda dunia. Pendidikan menjadi salah satu yang sangat terdampak, munculnya learning loss hingga lemahnya nilai karakter bangsa pada generasi muda, menjadi hal vital yang perlu segera dibenahi jika ingin Indonesia masih dalam koridor budaya bangsa.
Lalu apa yang perlu kita lakukan?
Menuntun tumbuh kembang anak dengan selamat dan bahagia menjadi tonggak pembenahan itu sendiri. Dengan adanya semboyan Merdeka Belajar yang mengiringi Kurikulum Merdeka sebagai sebuah terobosan pasca pandemik, menjadi sebuah solusi alternatif untuk mengembalikan posisi karakter kebajikan pada setapak lurus sesuai dengan cita-cita bangsa.
Memerdekakan pembelajaran artinya murid menjadi pusat orientasi dalam pendidikan. Segala daya upaya dilakukan untuk memberikan kualitas pendidikan yang baik agar mereka memiliki daya lenting untuk memaksimalkan potensi diri sebagai makhluk unik yang berbeda satu sama lain.
Salah satu upaya yang diberikan adalah terselenggaranya implementasi kurikulum merdeka, baik dari unsur intrakurikuler, ekstrakurikuler, ataupun Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Dalam kurikulum ini, ada hal baru yang menjadi sebuah alterasi yang luar biasa, yakni P5.
Terdengar baru dan asingkah? Ya, tentu saja, selain baru berjalan kurang lebih 1 tahun, P5 menjadi salah satu pembeda dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. P5 dirancang untuk memberikan pengalaman pengetahuan pada murid yang berkaitan erat dengan konteks kehidupan nyata sesuai budaya sekolah dan masyarakat di sekitar mereka.
“… perlulah anak-anak kita dekatkan hidupnya kepada perikehidupan rakyat, agar supaya mereka tidak hanya memiliki ‘pengetahuan’ saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat ‘mengalaminya’ sendiri , dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya.” – Ki Hadjar Dewantara.
Dari pesan yang tersemat oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, terlihat jelas bahwa pendidikan yang memerdekakan murid adalah yang melibatkan langsung mereka pada pengetahuan yang nyata.
Melalui P5, diharapkan pendidikan di Indonesia mampu mencetak generasi emas yang memiliki nilai luhur karakter yang berbudaya bangsa. Karakter tersebut tercermin dari enam dimensi Profil Pelajar Pancasila diantaranya beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong-royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Dengan penguatan karakter bangsa pada 6 (enam) poros dimensi tersebut, maka tidaklah mustahil jika negeri akan memiliki generasi muda yang berkepribadian baik.
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila ini mengangkat 7 (tujuh) tema utama untuk dijadikan pilihan implementasi pada Kurikulum Merdeka. Mereka adalah gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, bineka tunggal ika, bangunlah jiwa dan raganya, suara demokrasi, rekayasa dan teknologi, kewirausahaan, dan (kebekerjaan sebagai tema wajib di SMK).
Jika kita jeli pada percakapan di awal tadi, tentulah kita tahu bahwa percakapan tersebut kerap muncul dalam lingkup masyarakat antara anak dan orang tua yang terkadang berargumen tentang kebermanfaatan dari P5 ini sendiri. Projek pada dialog tersebut hanyalah satu dari sekian banyak tema yang bisa dipelajari murid, dimana mereka terlibat langsung di dalamnya, baik dari desain projek, investigasi, bernalar kritis dan kreatif untuk menemukan solusi yang bermanfaat, serta melakukan refleksi dari apa yang sudah mereka selesaikan. Selain itu, dengan adanya P5 dalam pembelajaran, murid memiliki wadah untuk mengembangkan kemampuan teamwork-nya, bergotong royong, dan bekerja sama menyelesaikan sebuah projek.
Meskipun kadang muncul nada sumbang dari beberapa orang yang bertanya untuk apa anak-anak mereka menghabiskan waktu meneliti dan memilah sampah, sibuk menggoreng keripik pada tema kewirausahaan, sibuk mengukur tinggi badan anggota keluarga untuk menghitung kebutuhan kalori harian, dan masih banyak lagi.
Hal itu bisa dimaklumi karena apa yang dialami dan dipelajari anak saat ini tidak langsung kentara dan berdampak pada kehidupan mereka sekarang. Namun yakinlah, projek dalam P5 yang melibatkan kontribsi langsung murid akan menjadi pondasi kuat dan pengalaman luar biasa bagi mereka kelak dalam berkehidupan di masyarakat, dan memiliki daya juang hebat pada kehidupannya di masa akan datang.
Jika pandangan ini masih belum cukup menggelitik pemahaman dari kebermanfaatan P5, maka mari kita mengingat momen saat berada di posisi sebagai murid. Jika ditanya pengalaman apa yang paling berkesan dan tak terlupakan dari sosok guru-guru kita saat itu? Maka bukanlah pengalaman mencatat, mendengarkan ceramah, atau mengingat setiap soal atau kalimat yang muncul pada lembar ulangan kita. Lalu apa yang paling berkesan? Tentu pembelajaran yang memberikan kesempatan kita untuk terlibat langsung di dalamnya, seperti berkarya, berkreasi, praktik, atau menyelesaikan sebuah projek yang bermanfaat. Sebagai contoh, mungkin dulu kita pernah belajar tentang bagaimana mempraktikkan ilmu fermentasi dalam membuat kue, bagaimana kita mengetahui komposisi tepat untuk menghasilkan pupuk kompos yang baik, atau bagaimana kontribusi besar kita dalam pengurangan sampah pada projek eco brick dari plastik bekas dan botol bekas.
Dari semua hal tersebut, kita tahu bahwa tanpa disadari langsung oleh peserta didik, mereka telah banyak belajar nilai kebajikan dalam kehidupan yang menjadi cita-cita bangsa dalam Profil Pelajar Pancasila. Mereka mengambil peran aktif dalam pembelajaran, tidak hanya tentang teorinya saja, namun praktik baik yang diterapkan dalam pembelajaran ekosistem sekolah. Hal ini menjadi cikal terbudayanya karakter luhur dalam diri murid sebagai generasi unggul sesuai minat mereka masing-masing.