Soal Berita Bupati Lamsel,, Ketua Fokwal Sindir Oknum Ormas

0
147

LAMPUNG SELATAN – WARTAALAM.COM – Ketua Forum Komunikasi Wartawan Lampung Selatan (Fokwal), Newton A, sindir oknum dengan embel-embel aktivis berbalut organisasi kemasyarakatan (ormas), namun berkiprah hanya sebatas ‘pesanan’ pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan pribadi.

Mantan aktifis ’98 ini menilai blow-up berita di sejumlah media daring nasional, yang dilakukan sejumlah pihak yang mengatasnamakan tokoh pemuda, hanyalah manuver politik dalam upaya penggiringan opini publik.

Manuver tersebut mengambil tema yang berkaitan dengan  proses hukum kasus suap proyek infrastruktur di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2018 silam.

“Yang menjadi pertanyaan kami, anak daerah ini, dari sekian banyak bahkan ratusan kasus korupsi di Indonesia, mengapa kawan-kawan dari SDR (Study Demokrasi Rakyat, red) sibuk cawe-cawe ke KPK hanya untuk menanggapi perkembangan kasus hukum di Lampung Selatan saja, padahal tak terhitung lagi jumlah penanganan lembaga anti rasuah tersebut. Ini kan sudah jelas aroma-aroma  tendensinya,” ujar Newton kepada Wartaalam.com, Selasa 24 Agustus 2021.

Kendati begitu, mantan reporter TV di Lampung ini mengakui tidak ada yang salah dengan manuver tersebut.

Hanya saja, menurut dia, idealnya laporan ke KPK tersebut dilakukan dengan cara objektif dan komprehensif.

Hendaknya masyarakat disajikan informasi yang benar. Jangan belum apa-apa terkesan sudah penggiringan ke satu nama.

KPK bukan lembaga ecek-ecek yang bisa diintervensi, bisa digertak-gertak. Isinya orang-orang pilihan dengan berbagai macam latar belakang. Jangan terkesan “Ngajarin Buaya Berenang” jadinya seperti dagelan saja, tutur Newton.

Menurut Newton, poin utama yang dipermasalahkan SDR terkait aliran dana hasil suap tersebut dari Bupati Lampung Selatan saat itu, Zainuddin Hasan yang diterima Wakil Bupati saat itu, Nanang Ermanto sekira Rp 950 juta secara bertahap.

Menurut mantan aktifis PRD ini, masalah penerimaan aliran dana itu kepada Nanang Ermanto, sebenarnya bukan barang baru.

Namun menurut Newton, masalah tersebut telah terungkap dan telah menjadi fakta pada  persidangan jilid I tahun 2018 silam yang melibatkan sebagai tersangka utamanya adalah Zainuddin Hasan.

Fakta persidangan soal aliran dana itu bukan barang baru.

Sudah terungkap lama, jauh-jauh hari di dalam fakta persidangan jilid I pada 2018. Artinya, jika masalah penerimaan aliran dana tersebut dinyatakan menjadi delik hukum, maka otomatis harusnya Nanang sudah menjadi tersangka dari sejak awal, tuturnya.

Di samping itu, mantan jurnalis Jawa Pos grup ini meminta pihak-pihak yang merasa berkepentingan dengan pengembangan kasus tersebut, agar bisa menelaah terlebih dahulu aspek-aspek hukum yang berlaku berkaitan dengan kasus tersebut.

Dimana, kata dia, terkait aliran dana suap proyek infrastruktur itu merupakan presentasi dari pasal 12 B ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No: 20 Tahun 2001 tentang Gratifikasi.

Coba diterjemahkan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan gratifikasi tersebut. Definisinya seperti apa. Pahami dahulu, baru nanti boleh cuap-cuap, terlebih koar-koar di media, tuturnya.

Gratifikasi itu ada dua jenis. Gratifikasi yang dilarang dan tidak dilarang.

Pengertian gratifikasi yang dilarang itu diterima berhubungan dengan jabatan. Kriterianya penerimaan tersebut memang dilarang peraturan yang berlaku.

Kemudian bertentangan dengan kode etik dan juga memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar, ujarnya.

Newton mengatakan, pemberian tersebut kepada oknum yang memiliki jabatan dan kewenangan. Akan menjadi tidak wajar jika ada seorang bawahan memberikan sesuatu kepada atasan. Pasti biasanya ada embel-embel.

Misalnya, bawahan memberikan sesuatu kepada atasan, maka akan terjadi konflik kepentingan. Karena sudah jelas struktur birokrasi antara atasan-bawahan. Alhasil, pemberian sesuatu dari bawahan kepada atasan menjadi tidak wajar.

Harusnya, atasan yang memberikan sesuatu kepada bawahan sesuai kepentingan  posisi masing-masing.

Seperti, atasan puas dengan kinerja bawahan. Kemudian bawahan, akhirnya  menjadi lebih terpacu agar dapat ebih giat lagi dalam bekerja, sehingga bawahan tersebut kerap mendapat reward dari atasan, katanya.

Sejatinya, pelarangan gratifikasi terkait dengan tindakan suap terselubung terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara karena jabatan dan kewenangannya.

Karena dikhawatirkan dapat terjadinya penyalahgunaan wewenang pegawai negeri dan penyelenggara negara.

Selain itu dikhawatirkan pegawai negeri dan penyelenggara negara tersebut, karena rasuah menjadi tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

“Untuk kasus Nanang Ermanto, dapat dipahami tidak ada kepentingan seorang  Zainuddin Hasan pada saat itu selaku bupati Lampung Selatan untuk menyuap seorang Nanang Ermanto berkaitan dengan jabatan dan kewenangannya sebagai wakil bupati,” katanya.

Newton mengatakan prihatin atas situasi di daerah yang menjadi pelik, implikasi dari pihak-pihak yang melancarkan isu-isu basi dan tidak mendidik atas dasar kepentingan pribadi sejumlah pihak.

“Untuk itu, saya berharap para elite dapat berpolitik secara santun, beretika dan dilandaskan pada kepentingan masyarakat banyak. Berilah pemahaman yang mendidik, objektif dan jujur kepada publik,”  katanya.

Sebelumnya, sempat beredar secara luas link berita terbitan media nasional, Direktur Kajian Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Didik Triana Hadi mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kelanjutan dari kasus dugaan korupsi di Lampung Selatan,  bahkan SDR langsung menyatakan kasus tersebut melibatkan Bupati Lampung Selatan (Lamsel) Nanang Ermanto.

Dalam artikel tersebut juga, SDR menilai keterlibatan Nanang Ermanto dalam kasus korupsi itu, setelah di dalam sidang lanjutan korupsi Dinas PUPR dengan tersangka dua bekas kepala dinas, Hermansyah Hamidi dan Syahroni, pada Rabu 24 Maret 2021, turut diperiksa sebagai saksi yakni Bupati Lamsel Nanang Ermanto.

Dalam fakta persidangan, SDR menyebutkan bahwa Nanang mengakui turut menerima aliran dana tersebut setidaknya Rp950 juta dari mantan bupati Zainudin Hasan, Agus BN, dan mantan Kadis PUPR Syahroni.

“Bahwa fakta persidangan tersebut merupakan indikasi kuat keterlibatan yang bersangkutan. KPK mesti segera menindaklanjuti fakta persidangan dan pengakuan dari Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto dalam persidangan tanggal 24 Maret 2021 lalu,” kata Didik seperti dilansir beberapa media online.

Sementara itu, seorang jurnalis senior Lampung yang enggan menyebutkan nama, menyimak apa yang dirilis tersebut belum laik siar dan dipaksakan untuk membangun opini publik.

Berita itu tidak menyebutkan mereka ke kantor KPK di Jakarta bertemu dan diterima siapa serta apa jabatannya dan bagaimana tanggapan pejabat KPK tersebut.
(hen/rif)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini