Fair Play
ISTILAH Fair Play bukan hal yang asing bagi kalangan olahraga terutama sepakbola. Bahkan anak-anak di peloksok desa sudah faham dengan istilah tersebut. Betapa tidak, tanpa wasit dan inspektur pertandingan mereka mampu bermain dengan sportif kendati dengan skill, strategi, serta kemampuan apa adanya.
Mereka tidak melanggar aturan yang telah menjadi ketentuan baku permainan, seperti menjegal atau mencederai lawan bahkan ketika terjdi hand ball dan out ball atau ada yang melakukan pelanggaran lain, mereka hanya menyebutkan jenis pelanggaran dan langsung eksekusi tanpa ada protes.
Mereka tak meributkan jumlah pemain dan lawan yang bakal dihadapi. Jika sudah sepakat dan sesuai aturan dan ketentuan, mereka bertanding dan bermain sesuai kemampuan masing-masing.. Bahkan jumlah gol kemenangan atau kekalahan bukan soal terlebih jika hanya game bermain sesama teman satu kelas atau sepermainan di kampung.
Fair play merupakan aturan baru sebagai pelengkap peraturan dan segala aturan yang sudah ada. Fair play lebih fokus kepada protek pemain. Dan hal itu sudah menjadi persyaratan mutlak yang harus dipatuhi semua pihak dalam mengikuti event resmi atau kompetisi serta kejuaraan lain, baik berupa liga, multi event tingkat lokal hingga internasional termasuk kejuaraan dunia.
Semua yang terlibat dalam kompetisi atau kejuaraan sepakbola sudah mahfum dengan aturan baku tersebut, mulai dari penitia penyelenggara, peserta, dan inspektur pertandingan. Terlebih wasit serta para asistennya dan inspektur (pengawas) pertandingan. Mereka wajib menjalankan fair play dan berlaku adil dan tidak keberpihakan.
Dalam dunia sepakbola, fair play berdampak positif, pemain terlindungi dari niat jahat pemain lain atau lawan, wasit juga terhindar dari kerubutan atau kebrutalan pemain yang memprotes keputusannya saat pertandingan berlangsung.
Penggemar bola atau bolamania tentu masih ingat Zidane Zidan asal Perancis yang rela melepaskan piala Sepatu Emas sebagai supermasi pemain terbaik dunia ketika komisi disiplin FIFA (induk organisasi sepakbola dunia) mencabut gelar tersebut dengan alasan saat pertandingan final saat melawan tim Italia, Zidane Zidan melakukan tindakan yang tidak terpuji dengan sengaja “menanduk” dada Metarazzi (pemain Italia).
Tindakan Zidan tersebut menyakiti Metarazzi dan dia telah dihadiahi kartu merah serta dikeluarkan dari arena pertandngan. Namun komisi disiplin memiliki pertimbangan lain, perbuatan sang bintang sudah melanggar fair play dan memberikan contoh buruk bagi anak-anak yang gemar sepakbola. Berlandaskan profesionalisme, Zidan merelakan gelarnya dicopot tanpa melakukan pembelaan diri.
Begitu juga dengan klub elite Italia, Juventus dengan ikhlas menerima keputusan komisi disiplin persatuan sepakbola negara itu yang menjatuhkan diskualifikasi dan mendepak klub tersebut dari Liga Serie A ke Liga Divisi III lantaran terbukti melakukan pelanggaran berat, kasus pengaturan skor.
Bahkan dari arena Olimpiade khusus cabang atletik, seorang pelari wanita asal India harus rela melepas medali emas yang telah ia raih lantaran setelah tes medis dan jenis kelamin, atlet tersebut terbukti melakukan operasi kelamin dari pria mnjadi wanita. Padahal yang bersangkutan sebelumnya telah lolos persyaratan pertandingan.
Sudah banyak klub internasional bahkan tim sepakbola di dunia serta pemain termasuk di Indonesia yang telah merasakan “saktinya” komisi disiplin (komdis) FIFA yang lebih mengutamakan fair play, di luar teknik, strategi, skill pemain, dan kemampuan finansial tim. Fair play untuk menghindari “sepakbola gajah” atau kerusuhan di arena pertandingan serta tindakan brutal lain demi kemenangan.
Fair play dan sportif harus dijunjung tinggi setiap olahragawan/wati dari semua cabang olahraga. Persaudaraan dan bersaing secara sehat menjadi landasan kehormatan.
***
Demian pula di kancah politik, semua negera memiliki undang- undang, peraturan, dan aturan main sesuai azas masing-masing. Yang membedakan hanya pada sistem dan teknologi yang digunakan, namun prinsif dan persyaratan, termasuk kepanitiaan dan badan pengawas nyaris sama.
Pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah/gubernur/bupati/ walikota.(pilkada) di Indonesia misalnya. Bak event akbar di dunia olahraga, pesta demokrasi juga dilengkapi penitia, wasit dan asisten wasit serta badan pengawas pertandngan, pencatat suara (skorer), hingga pengamat.
Semua berjalan sesuai tupoksi dan bekal perundang-undangan yang dimilikinya. Komisi Pemilihan Umum (KPU), mulai dari pusat hingga kabupaten/kota memiliki tugas nyaris sama, sebagai panitia penyelenggara yang mengatur soal pendaftaran dan syarat-syarat pendaftar termasuk partai pengusung dan pendukung, waktu pendaftaran dan pelaksanaan kompetisi, serta tahapan-tahapan lain hingga mengatur lokasi alat peraga peserta, hal lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pesta.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) keberadaannya juga sama, dari pusat hingga kabupaten/kota. Sama-sama dibekali dan punya aturan (undang-undang). Sesuai namanya, badan pengawas tentu memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Sepert i halnya wasit dalam pertandingan sepakbola, Bawaslalu hanya mengawasi , memberi teguran, sanksi kartu kuning atau kartu merah kepada tim atau pemain yang melakukan pelanggaran termasuk tidak menjalankan fair play selama pertandingan berlangsung.
Dalam sepakbola, pertandingan mulai berjalan sejak kick off hingga peluit tanda pertadingan berakhir berbunyi. Sedangkan pada pesta demokrasi sejak dibukanya pendaftaran hingga waktu tahapan penghitungan suara di panitia besar (KPU) berakhir. Dalam menjalankan tugasnya, Bawaslu memiliki perpanjangan tangan pengawas kecamatan (panwascam), mereka jug turut mengawasi semua tahapan pilkada, termasuk sosialisasi para peserta sesuai jadwal dan lokasi yang sudah ditentukan, pemasangan alat peraga peserta, proses pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pengmungutan Suara (TPS), serta pelanggaran lainnya.
Untuk strategi, teknik, taktik, skill, kerjasama tim, dan cost politik serta lainnya dalam upaya memenangkan kompetisi urusan masing-masing peserta. KPU dan Bawaslu hanya menjalankan undang-undang dan aturan yang telah dibuat atas kesepakatan bersama. Jujur dan Adil (Jurdil), Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER) menjadi landasan.
Jika di kemudian hari terdapat pelanggaran, Bawaslu berhak memberikan teguran hingga sanksi keras termasuk mendiskualifikasi peserta. Demikian pula KPU, jika menemukan ada yang janggal berhak membatalkan keikutsertaan peserta dalam kompetisi. Dalam menjatuhkan sanksi, baik Bawaslu dan KPU juga harus memiliki bukti (fakta) dan saksi, bukan berdasarkan keberpihakan karena mereka merupakan orang-orang yang ahli di bidangnya (independen). Perlu diketahui dalam pemilu atau pilkada,selain KPU dan Bawaslu juga ada Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yaitu pusat aktivitas peneggakan hukum Tindak Pidana Pemilihan yang terdiri dari unsur Bawaslu mulai dari pusat higga panwas kabupaten /kota, kepeolisian RI, daerah, kepolisian resort, dan Kejaksaan Tinggi serta lainnya.
Sanksi termasuk diskualifikasi dilakukan jika peserta terbukti melakukan pelanggaran keras, seperti membahayakan kesemalatan pemain lain (lawan) dan azas fair play atau memberikan contoh buruk bagi anak-anak dalam sepakbola. Dalam politik Terstruktur, Sistematis, dan Terencana (TSM), seperti terbukti keterlibatan pihak yang berkuasa untuk memenangkan diri dalam upaya memperpanjang jabatan atau membela istri, anak, saudara, atau pihak lain dengan menggunakan fasilitas milik negara, melibatkan aparatur sipil negara, pegawai sipil negara hingga unsur pemerintahan di tingkat kelurahan termasuk ketua Rukun Tangga (RT), Linmas, dan para petuga di TPS.
Jika hal tersebut terjadi, jelas bukan saja merugikan negara termasuk penyimpangan dana bantuan sosial tapi juga merusak demokrasi serta pembelajaran buruk politik bagi penerus bangsa. Alangkah indahnya jika ikut atau menyaksikan suatu pertandingan yang fair play bak menonton anak-anak bertanding sepakbola. Kepolosan dan keluguan membuat penonton lupa terhadap sponsor dan petaruh.
(Dadang Saputra)