Lampung Zona Merah Korupsi

0
7337
Dadang Saputra (Jurnalis dan Pengamat Sosial).

Memprihatinkan dan miris. Betapa tidak,Lampung dalam zona merah korupsi. Pada 2019 sudah empat kepala daerah (bupati) yang terjaring Operasi Tangan Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT  KPK).

Bupati Lampung Tengah Mustafa beserta beberapa anggota DPRD dan pejabat setempat,  Bupati Lampung Selatan Zainuddin juga beserta anggota DPRD Lampung, Bupati Mesuji dan pejabat, serta Bupati Lampung Utara Agung Mangku Negara beserta beberapa pejabat setempat dan perantara. Mereka terjaring lantaran gratifikasi dengan uang ratusan juta rupiah sebagai barang bukti.

Sebelumnya, beberapa bupati di Lampung juga harus berurusan dengan hukum lantaran tindak pidana korupsi,  Bupati Lampung Timur Satono, Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan,  dan Bupati Lampung Tengah, Andy Achmad, serta  Wendy Melfa (bupati Lampung Selatan). Total  seluruhnya sudah delapan orang, sementara kabuaten di Lampung 14 dan 2 kota.

Sudah sebegitu parahkah tindak pidana korupsi di Lampung?  Tertangkapnya empat bupati dalam kurun waktu yang sama (2019) dan empat orang sebelumnya menggambarkan kondisi sesungguhnya dan tidak menutup kemungkinan pejabat dan kepala daerah lain menyusul mengingat masih maraknya fee proyek dan tingginya cost politic,  dan nepotisme serta dinasti politik di daerah itu.

Semua orang mahfum,  cost politic di negeri ini cukup tinggi. Untuk mendapatkan perahu kepala daerah, seorang calon harus mengeluarkan kocek puluhan miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah. Mau tidak mau ketika terpilih, yang bersangkutan harus mengembalikan modal terlebih dahulu dibandingkan bekerja secara ikhlas atau menjalankan amanah dengan sesungguhnya, sesuai aturan yang berlaku.

Jika mengandalkan gaji pokok serta tunjangan, kapan seorang bupati dan gubernur dapat mengembalikan kocek yang telah dikeluarkan untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Dan tidak sedikit pula pejabat yang ikut terlibat lantaran selama ini mereka terjebak dalam politik praktis dengan menjadi tim sukses sang calon dengan tujuan naik jabatan serta dekat dengan tampuk pimpinan. Padahal aparat sipil negara (ASN) dan pegawai sipil negara (PSN) totalitas menjalankan dan melayani rakyat, siapapun yang duduk di tahta.

Mahar politik memang mahal belum lagi ditambah fee dalam setiap proyek pembangunan pemerintah yang kerap menjadi keluhan para rekanan, serta nepotisme, dan dinasti politik. Khusus dinasti politik, Banten menjadi contoh buruk.

Di sisi lain yang memuat miris, ketika ada pejabat tertangkap KPK, sebagian rakyat ada yang bertepuk tangan. Padahal disadari atau tidak mereka juga merupakan korban sekaligus penyebab tindak pidana korupsi. Betapa tidak, bukankah selama ini masih terjadi praktik politik transaksional alias wani piro? Itu dapat dibuktikan dengan adanya serangan fajar berupa ampaw (amplop berisi uang) dan bagi-bagi bingkisan di luar ketentuan.

Padahal tradisi ampaw saat pilkada atau pemelihan anggota legislatif (pileg) atau pil-pil pahit lainnya jelas tidak mendidik dan pembodohan bangsa. Betapa tidak, apalah artinya uang Rp100 ribu dibandingkan dengan lima tahun atau Rp100 ribu dibagi 1800 hari hanya sekira Rp 50  per hari. Serendah dan sekecil  itukah harga hati nurani dan asa masa depan?

Untuk menghentikan tindak pidana korupsi di negeri ini termasuk Lampung tidak semudah membalikkan telapak tangan dan butuh waktu. Partai plitik (parpol) juga perlu melakukan perubahan dalam rekrutmen calon anggota legislatif dan kepala daerah. Dengan mengutamakan kader atau anak bangsa yang beraklahkul karimah bukan hanya popularitas dan berkantung tebal.

Bila perlu terapkan uji kopetensi bagi setiap kader dan anak bangsa yang ingin maju dalam pilkada dan pilpres serta pileg bukan jual beli perahu seperti yang terjadi selama ini. Setiap usaha tentu membutuhkan modal namun bukan untuk membeli perahu politik melainkan persiapan sosialisasi seperti alat peraga, operasional relawan, dan promosi serta lainnya termasuk saksi di tempat pemungutan suara. Bukankah untuk penyelenggaraan pilkada, pileg, pilpres (pemilu) dana sudah dianggarkan pemerintah?

Bukankah selama ini mahar politik tidak sepenuhnya untuk kepentingan sang calon? Lebih banyak masuk ke kocek ketua partai atau unsur lain yang terlibat dalam pencalonan.

Di sisi lain keberadaan KPK meski berdampak positif tidak bisa menjadi andalan utama dalam menghentikan tindak pidana korupsi, tidak menutup kemungkinan sarat muatan politis dan dimanfaatkan oknum tertentu. Sejak didirikan sudah berapa banyak kalangan menteri, pejabat, petinggi parpol, dan kepala daerah gubernur dan bupati yang masuk penjara namun hingga saat ini korupsi masih terjadi bahkan masih ada yang dalam pantauan bahkan ”luput” dari sasaran.

Tindak tegas setiap pelanggar,  mulai dari unsur penyelenggara, pengawas, pasangan calon hingga pejabat yang terlibat termasuk warga sekalipun jika yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran seperti turut membai-bagikan ampaw atau barang lain di luar aturan dan ketentuan.

Wajar jika saat ini pembangunan fisik, perekonomian, pendidikan, dan kesehatan yang berpusat dari proyek pemerintah belum mencapai sasaran dan masih jauh dari asa bak panggang  jauh dari api. Demikian pula dalam realisasi Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) yang kini belum menjadi konsentrasi KPK . Sudah saatnya money politic menjadi mimbar ilmu. Bila perlu membuat tesis tentang kondisi daerah dan rencana ke depan (misi) serta uji publik termasuk dari kalangan akademisi menjadi sarat utama dalam pencalonan kepala daerah serta anggota legislatif dengan sendirinya mereka yang hendak mencalonkan diri telah mempersiapkan diri sejak dini bahkan dana yang dikeluarkan tidak akan mencapai ratusan miliar rupiah. Atau jalur perseorangan (independen) lebih dibuka seluas-luasnya.

Melibatkan ulama dan tokoh/pemuka agama lain dalam pembahasan program pembangunan di samping tenaga ahli merupakan cerminan pemimpin berakhlakul karimah. Dan itu dapat dimulai dari musyawarah rencana pembangunan tingkat desa (Murendes )yang telah dilakukan selama ini, tidak melulu melibatkan aparatur desa, kecamatan, anggota Dewan setempat, dan aparat pemerintah di kabupaten.

Semua program pembangunan di negeri ini harus mengacu dan berpijak pada Panca Sila sebagai dasar negara. Ketuhanan Yang Maha Esa,Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indoesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (Dadang Saputra)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini