Kementan dan Satgas Pangan Segera Laporkan Situasi Usaha Ubi Kayu di Lampung

0
367
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, Yudi Sastro (baju putih) bersama Ketua Satgas Pangan Brigjen Halfi Assegaf dalam diskusi bersama petani ubi kayu di Lampung Tengah, Senin (3/2/2025). (Antara)
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, Yudi Sastro (baju putih) bersama Ketua Satgas Pangan Brigjen Halfi Assegaf dalam diskusi bersama petani ubi kayu di Lampung Tengah, Senin (3/2/2025). (Antara)

Bandarlampung, wartaalam.com – Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Yudi Sastro bersama satuan tugas (Satgas) pangan segera melaporkan ke presiden soal industri ubi kayu ada perusahaan tapioka masih tutup akibat regulasi pengaturan harga dan rafaksi komoditas itu.

“Mengenai masih tutupnya perusahaan tapioka yang ada di Provinsi Lampung setelah adanya regulasi pengaturan harga dan rafaksi ubi kayu, ini akan didiskusikan kembali dengan satuan tugas pangan,” ujar Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Yudi Sastro di Lampung Tengah, Senin (3/2/2025)

Ia mengatakan, hal tersebut dilakukan sebab satuan tugas pangan berperan dalam pelaksanaan pengawasan, salah satunya di industri ubi kayu seperti mengenai operasional perusahaan tapioka.

“Karena satuan tugas pangan ada di bawah Presiden langsung, nanti mereka akan melaporkan mengenai masalah ini langsung ke Presiden. Siang ini akan langsung disampaikan oleh Menteri Pertanian juga setelah dikumpulkan semua hasil di lapangan,” katanya.

Ia mengatakan, dengan pengawasan Satuan Tugas Pangan dan penegak hukum, kemudian ada dorongan regulasi dari Kementerian Pertanian maka seharusnya semua pihak dapat mengikuti aturan tersebut.

“Kementerian Pertanian sudah membuat regulasinya sesuai surat kemarin, nanti kita tunggu hasilnya. Sebab pemerintah adalah wakil dari semuanya. Harga ubi kayu sudah disepakati Rp1.350 per kilogram, dan impor diberhentikan ini dilakukan agar industri ubi kayu bisa berjalan dengan baik,” ujar dia.

Menurut dia, pilihan menetapkan regulasi tersebut menjadi salah satu bentuk solusi untuk mengatasi permasalahan antara petani ubi kayu dan perusahaan tapioka.

“Regulasi ini dipilih sebagai jalan tengah agar petani, perusahaan dan konsumen semuanya tidak ada yang dirugikan,” katanya..

Tanggapan lain dikatakan seorang petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Wilayah Mesuji Kadek Tike.

“Setelah adanya regulasi mengenai singkong, baru beberapa perusahaan yang beroperasi, dan masih banyak yang memilih tidak beroperasi,” ujar Kadek Tike.

Ia mengatakan, dengan kondisi seperti itu petani ubi kayu pun masih banyak yang menahan belum melakukan panen ubi kayunya.

“Memang ada beberapa petani yang mulai mencabut ubi kayunya karena kebutuhan, tapi ada yang masih belum mencabut dan memilih menahan panen dulu karena harga yang kami dapat setelah dipotong berbagai rafaksi tanah, rafaksi bonggol dan biaya lainnya hanya sekitar Rp900 per kilogram,” katanya.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini